Tentang LPH
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) merupakan suatu lembaga yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat melalui lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum. LPH mengangkat auditor halal yang bertugas melakukan pemeriksaan, pengkajian, dan penelitian untuk menjamin kehalalan suatu produk makanan, obat-obatan, dan minuman yang diproduksi baik dalam skala kecil (UMKM) maupun oleh perusahaan besar.
Sebelum UU 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diundangkan, sertifikasi halal dilakukan oleh MUI yang bersifat sukarela. Proses pemeriksaan produk-produk tersebut dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI). Namun, setelah setelah UU 33 terbit, Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Sukoso mengatakan bahwa sertifikasi halal bersifat wajib bagi barang dan/jasa yang masuk dan beredar di Indonesia. Undang-Undang kemudian memberi kewenangan pemeriksaan produk kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Belum lama ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Aturan pelaksana tersebut memuat berbagai pengaturan terkait penyelenggaraan jaminan produk halal yakni Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Pengaturan LPH dalam PP 31/2019 sebanyak 13 pasal, mulai Pasal 31 hingga 42. Seperti pihak yang dapat mendirikan LPH yaitu pemerintah pusat, daerah, dan/atau masyarakat. Sedangkan masyarakat yang dimaksud yaitu lembaga keagamaan Islam yang telah berbadan hukum. Jadi, LPH bisa didirikan oleh kementerian/lembaga, pemerinah daerah, badan usaha milik negara/daerah, Perguruan Tinggi Negeri, dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
Dalam artikel ini, akan dibahas tentang persyaratan yang harus dimiliki Perguruan Tinggi Negeri dalam mendirikan LPH. Menurut Sukoso, sebuah Perguruan Tinggi Negeri bisa mengambil peran sebagai LPH dengan syarat memiliki kantor sendiri, memperoleh akreditasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), memiliki minimal tiga auditor halal tersertifikasi, memiliki laboratorium sendiri, serta bekerjasama dengan laboratorium yang sudah memperoleh standar ISO. Persyaratan tersebut sesuai amanat Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Kepala Pusat (Kapus) Kerjasama dan Standardisasi Halal, Nifasri menyampaikan bahwa LPH wajib terakreditasi. Maka dari itu, BPJPH akan bekerjasama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan akreditasi. Nifasri juga menambahkan, setiap LPH minimal memiliki tiga auditor halal yang memenuhi syarat. Syarat auditor halal adalah WNI, beragama Islam, berpendidikan minimal S1 dari bidang ilmu tertentu, memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk, dan memiliki sertifikat dari MUI. Dalam proses sertifikasi halal, BPJPH akan melakukan kerjasama dengan LPH yang berwenang mengaudit/menilai/menguji kehalalan suatu produk. Hasil audit tersebut akan menjadi bahan bagi MUI untuk menyelenggarakan sidang fatwa. Hasil keputusan sidang fatwa MUI inilah yang menjadi dasar penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH.